13 Maret 2017

URGENSI TEOLOGI ANTIKORUPSI

  Satori       13 Maret 2017

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait pemetaan kasus korupsi di Indonesia periode Januari sampai Juni 2016, selama enam bulan lalu sebanyak 210 kasus telah ditangani dan 500 orang ditetapkan menjadi tersangka oleh tiga institusi penegak hukum.

Bahkan akhir-akhir ini, tayangan televisi dijejali dan disesaki berita-berita tentang korupsi. Meski bukan hal baru, persoalan korupsi tampaknya masih tumbuh subur di negeri ini. Kehadirannya merambah ke seluruh sektor kehidupan baik pemerintahan, ekonomi, politik, sosial bahkan pendidikan.

Misalnya yang terbaru kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Ironinya nama-nama beken diduga terlibat dalam korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar 2,3 triliun tersebut (Radar Tegal, 7 Maret 2017).

Fakta ini menunjukkan bahwa kasus korupsi di negeri ini begitu menggurita dan kronis. Dampaknya sangat besar karena dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi tak hanya memiskinkan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan potensi ekonomi negara.

Maraknya kasus korupsi menjadi hal yang ironis mengingat Indonesia adalah negara yang berketuhanan. Bahkan masyarakatnya relatif religius. Indonesia kalah dengan Cina dan Singapura dalam memerangi korupsi. Meski keduanya memberantas korupsi dengan tanpa dalil-dalil keagamaan, indeks korupsinya justru rendah.

Persoalan korupsi begitu kompleks. Korupsi tak bisa hanya diselesaikan melalui disiplin fikih jinayah siyasah dan hukum negara. Meski dinilai penting dalam upaya memberantas korupsi, keduanya sering dipahami secara formalitas sehingga masih dapat dipelintir untuk mencari keuntungan pihak-pihak tertentu. Partisipasi aktif publik dalam hal ini juga sangat dibutuhkan. Publik mesti mengawal budaya antikorupsi secara sukarela dan kontinu.

Hal yang tak kalah penting adalah peran disiplin teologi dalam jihad melawan korupsi. Karena persoalan korupsi begitu pelik, maka memerangi korupsi harus dari akarnya yaitu fondasi teologisnya. Sejatinya tak ada satu pun doktrin teologis agama-agama yang membenarkan perilaku korup. Dari sinilah urgensi teologi antikorupsi sebagai jihad kolektif untuk memerangi tindak korupsi.

ISTILAH KORUPSI DALAM ALQURAN
Dalam Alquran, sejatinya istilah korupsi secara eksplisit tidak dijumpai. Namun, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan pijakan teologis dalam kampanye antikorupsi. Hal itu didasarkan pada bentuk-bentuk tindak pidana dalam hukum Islam sebagaimana terekam dalam Alquran.

Ada beberapa istilah dalam Alquran yang bertautan dengan tindak pidana korupsi. Pertama, istilah al-suht (QS.5:42). Al-Suht secara etimologis berarti memperoleh harta secara haram. Menurut Ibnu Khuzaimah, makna al-suht yaitu ketika seseorang memakan atau memperoleh harta karena faktor kekuasaannya. Artinya, seseorang penguasa tidak akan memenuhi permintaan orang lain tanpa adanya imbalan berupa risywah (suap).

Praktik al-suht adalah salah satu bentuk korupsi yang paling lazim dalam masyarakat dewasa ini. Misalnya seorang menyuap penguasa demi memuluskan kepentingan tertentu. Al-Suht pun dinilai dapat menguntungkan kedua belak pihak, yaitu penerima dan pemberi suap. Padahal keduanya sama-sama tindakan korup.

Kedua, istilah al-ghulul (QS.3:161) secara etimologis berarti penghianatan. Al-Maraghi (2006) memaknai al-ghulul dengan al-ahdz alkhafiyyah (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi). Mulanya istilah ini digunakan untuk tindakan pencurian harta rampasan perang sebelum didistribusikan.

Istilah al-ghulul pun mengalami perluasan makna. Al-Ghulul dapat berarti suatu tindakan mengambil suatu penghasilan diluar gaji yang telah ditetapkan. Kemudian al-ghulul juga dapat diartikan dengan pemberian (hadiah) oleh orang lain karena faktor jabatan yang melekat pada seseorang.

DOSA KORUPSI
Salah satu tema penting dalam teologi (Islam) adalah tentang dosa. Korupsi sebagai sebuah tindakan dosa perlu dianalisis dari perspektif teologi. Dalam teologi Islam, semua dosa bisa diampuni oleh Tuhan (QS.39:53). Jujur saja, dokrin itu cukup mengusik.

Pertanyaan kemudian: Apakah dosa korupsi juga bisa diampuni? Bagaimana bentuk pertobatannya? Dua pertanyaan itu patut diajukan mengingat ada asumsi dan keyakinan dalam masyarakat Muslim bahwa tindak korupsi dapat diampuni dengan ritual keagamaan dan bentuk pertobatannya bersifat vertikal (terhadap Tuhan).

Persoalan korupsi tak hanya dilihat secara vertikal, tetapi juga horizontal. Korupsi tak hanya dosa terhadap Tuhan, tetapi juga dosa terhadap umat manusia dan kelompok sosialnya. Konsekuensinya, bentuk pertobatannya pun harus dari dua sisi: Tuhan dan manusia.

Korupsi merupakan tindakan menantang dan melanggar perintah Tuhan. Ia juga merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap amanah harta yang telah diditipkan Tuhan kepada umat manusia. Secara normatif, Tuhan memerintahkan manusia untuk meraih harta dengan jalan yang benar, bukan dengan cara-cara yang batil (QS.4:29).

Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memiliki integritas dan hidup secara terhormat di hadapan Tuhan. Rezeki yang diperoleh tidak boleh dihitamkan dengan harta yang bukan haknya. Namun tampaknya, perintah normatif Tuhan melalui teks kitab suci hanya dipahami secara kultural oleh manusia, dan tidak memiliki kekuatan struktural. Alhasil, para koruptor pun bersikap apatis.

Selain bersifat vertikal, dosa korupsi juga bersifat horizontal. Korupsi merupakan dosa terhadap manusia yang mencakup dua aspek. Pertama, korupsi sebagai dosa kemanusiaan. Tindakan korupsi secara sadar telah merampas harta yang menjadi miliki orang lain. Dalam teologi Islam, harta seseorang dijamin hak milikinya, dan tidak boleh diganggu gugat (QS.2:188).

Kedua, tindak penyelewengan dan penyalahgunaan harta orang lain atau uang negara merupakan dosa sosial. Korupsi merusak sistem sosial yang lebih luas karena dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Misal semakin masifnya kemiskinan dan meruntuhkan potensi ekonomi negara. Padahal jika tidak dikorupsi, uang negara dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan uraian tersebut, maka bentuk pertobatan korupsi secara teologis harus dilakukan dari dua sisi. Dari sisi Tuhan, pertobatan korupsi diawali dengan nadam (menyesali perbuatan dosa), iqla’ (mencabut perbuatan dosa) dan ibdal (mengganti perbuatan dosa dengan amal saleh).

Kemudian dari sisi manusia, bentuk pertobannya dengan meminta maaf dan mengembalikan uang hasil korupsi kepada manusia. Jika korupsinya dari uang negara, maka hukumannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya dengan menyita harta dan aset hasil korupsi. Bila perlu, sang koruptor mesti dimiskinkan karena telah memiskinkan banyak orang.

Dari sinilah ugensi teolgi antikorupsi. Manusia sebagai hamba Tuhan mesti memiliki kesadaran teologis-kritis untuk bertanggung jawab kepada-Nya, dan juga kepada manusia yang merupakan ciptaan agung-Nya. Oleh karena itu, musuh umat beragama saat ini bukanlah mereka yang berbeda agama, melainkan para koruptor. Sudah saatnya semua umat bergama bersatu melawan musuh agama: korupsi.

*Penulis: Satori
*Opini ini pernah dimuat di Radar Tegal edisi 13 Maret 2017
logoblog

Thanks for reading URGENSI TEOLOGI ANTIKORUPSI

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar