Melalui Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 22 Tahun 2015, tanggal 22 Oktober ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Hari Santri Nasional. Deklarasi yang digelar di Masjid Istiqlal ini mendapat berbagai respons langsung dari masyarakat. Beragam reaksi banyak dijumpai di berbagai media catak dan elektronik, baik bernada positif maupun negatif.
Bagi pihak yang sepakat, mereka merayakannya dengan euforia. Ada yang bersorak-sorai, menggelar kirab hingga upacara demi mengekspresikan kebanggaannya pada momen tersebut.
Namun bagi pihak yang tidak sepakat, mereka justru melontarkan kritik. Menurutnya, penetapan tersebut tak ubahnya sebagai penunaian janji politik pasangan Jokowi-JK saat kampanye tahun 2014 silam. Ada juga yang mengatakan, kata “santri” tak jelas formulasinya, karena kerap merujuk pada salah satu ormas (organiasasi masyarakat) tertentu. Alhasil, penetapan tersebut dinilai sangat sarat kepentingan politis dan tak mampu mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat.
Terlepas dari kontroversi yang ada, tulisan singkat ini ingin mengajak Anda bagaimana cara memahami penetapan hari nasional tersebut. Silakan ikuti uraian berikut ini.
Setiap penetapan hari nasional, pasti ada satu persitiwa yang dijadikan dasar penetapan. Lazimnya peristiwa tersebut dinilai sangat sarat nilai historis. Misal peristiwa lahirnya organisasi Boedi Oetomo ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, peristiwa pembacaan teks proklamasi ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, dan seterusnya.
Lalu, muncul pertanyaan. Apa peristiwa yang menjadi dasar penetapan Hari Santri Nasional? Adakah peristiwa yang sangat sarat nilai sejarah? Jawabannya ada, yaitu peristiwa fatwa resolusi jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Peristiwa itulah yang dijadikan pemerintah sebagai dasar penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Fatwa resolusi jihad berbunyi sebagai berikut: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh.”
Apa hebatnya ide tentang fatwa resolusi jihad pada saat itu sehingga pantas dijadikan sebagai dasar penetapan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu saya tekankan terlebih dahulu bahwa setiap ide pasti terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Maksudnya, kekuatan ide itu sangat dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu dimana ide dikeluarkan. Jadi, belum tentu ide tentang sesuatu bisa relevan dengan ruang (tempat) dan waktu (zaman) tertentu. Begitu pun tentang fatwa Mbah Hasyim (sebutan KH. Hasyim Asy’ari).
Bila kita memahami fatwa resolusi jihad dengan konteks ruang dan waktu pada saat ini, tentu kurang relevan dan kehilangan kekuatannya. Mengapa? Pasalnya, saat ini sudah banyak ulama (kiai) di seluruh penjuru Nusantara yang menempatkan negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam kajian Islam. Orang yang mengaku berislam sudah sewajibnya membela, mempertahankan dan berjuang demi menjaga integritas negaranya dari cengkeraman kolonialis. Oleh karena itu, jika fatwa itu dikeluarkan pada hari ini, maka akan kehilangan kekuatannya lantaran hampir seluruh ulama sepakat dengan hal itu.
Akan tetapi, jika memahami fatwa Mbah Hasyim pada konteks tahun 1945, maka kita akan menemukan kekuatan ide yang sangat mendasar, segar, langka, dan visioner. Saat itu, pembahasan tentang mempertahankan sebuah negara belum menjadi bagian integral dalam kajian Islam di kalangan ulama Nusantara. Hematnya, pembahasan tentang mempertahan integritas NKRI belum mendapatkan tempat yang proporsional dan masih dianggap tabu oleh mayoritas ulama.
Alhasil, kerap muncul pertanyaan, apakah mempertahankan negara dari imperialisme Barat merupakan bagian dari manifestasi iman seorang Muslim atau sebaliknya, apakah Islam menempatkan negara sebagai sesuatu yang harus dibela atau tidak, begitu seterusnya. Oleh karena itu, fatwa Mbah Hasyim merupakan suatu ide yang mencoba menerobos lorong-lorong gelap pemikiran keislaman pada saat itu demi kepentingan bangsa Indonesia di kemudian hari.
Memang kita harus mengakui bahwa Mbah Hasyim bukanlah sosok pertama yang mencetuskan ide tentang pembelaan umat Muslim atas negara. Tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani (Afganistan, 1838-1897 M) dengan gerakan politik Pan-Islamisme dan Muhammad Rasyid Ridha (Suriah, 1865-1935 M) dengan suaranya yang lantang melawan imperialsme Barat, sudah lebih dulu ada. Namun itu semua berada di negara-negara Timur Tengah. Di Indonesia pada tahun 1945 belum booming ide semacam ini, bahkan masih dianggap tabu, dan dimungkinkan akan meruntuhkan konstruksi keimanan seorang Muslim karena membela negara secara berlebihan.
Uraian di atas memberikan kita sebuah pemahaman tentang kekuatan ide fatwa resolusi jihad pada situasi politik saat itu. Tampaknya tak berlebihan juga jika kita mengapresiasi ide itu untuk dijadikan dasar penetapan Hari Santri Nasional. Mengapa? Sebagaimana yang kita telah ketahui, pasca-fatwa ribuan santri khususnya Jawa Timur berbaur menjadi satu di Surabaya. Mereka mengobarkan semangat patriotisme dengan cara melawan tentara Inggris (bernama AFNEI, Allied Forces Netherlands East Indies) yang sudah menduduki Kota Surabaya, Jawa Timur.
Darah, tenaga dan harta mereka korbankan. Nyawa pun mereka pertaruhkan. Tak sedikit santri yang tewas atas nama membela integritas NKRI yang saat itu sudah memproklamirkan kemerdekaan. Perlawanan kaum santri ini juga yang menjadi prolog momen bersejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan pada setiap tahunnya.
Oleh karena itu, apapun sikap Anda terkait penetapan Hari Santri Nasional, saya kira tak ada salahnya dan sah-sah saja untuk sedikit memberikan apresiasi kepada kelompok tertentu (santri) yang rela mengorbankan segalanya demi keutuhan dan mempertahankan kemerdekan Republik Indonesia. Selamat Hari Santri Nasional!
*Penulis: Satori, alumni Pondok Pesantren Alhikmah 1 Kompleks Masjid Jami', Benda, Sirampog, Brebes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar