15 April 2017

MENYALAKAN API INKLUSIF PENDIDIKAN KITA

  Satori       15 April 2017

Sekitar 1970-an, sebuah Peraturan Daerah (Perda) di Wisconsin Amerika Serikat mewajibkan arsitektur trotoar landai agar bisa dilalui kursi roda. Sontak, sebagian warga menentang dan menolak rancangan Perda tersebut. Alasannya sangat sederhana: “We don’t see people in wheelchairs using our sidewalks”. Para penentang tak setuju mengalokasikan dana untuk komunitas yang bagi mereka tidak ada dan tidak tampak di hadapan publik.

Boleh jadi ini juga yang ada di pikiran para stakeholders pendidikan kita. Masalah aksesibilitas tak ubahnya benang kusut bagi dunia pendidikan. Tak perlu membicarakan masalah aksesibilitas bagi kaum difabel (different ability), karena sekolah kita tak memiliki siswa difabel. Kalaupun ada, mereka hanya minoritas yang tak perlu mendapatkan hak istimewa. Sebagaimana para penentang Perda di Wisconsin, ketiadaan siswa difabel di bangku-bangku pendidikan menjadi alasan klise sekolah kita tidak aksesibel bagi difabel.

Saat mengenyam bangku SMP dan SMA, saya tak mendapati teman sekolah difabel. Kalaupun ada tanpa sepengetahuan saya, mereka tak mendapatkan hak sesuai kebutuhannya sebagai difabel. Saya baru menyadari betul urgensi aksesibilitas pendidikan saat menempuh studi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Saya melihat beberapa sarana dan prasarana dirancang sedemikian rupa agar aksesibel. Ruang kuliah, perpustakaan, tempat ibadah, toilet dan jalan underpass kampus dirancang agar ramah bagi komunitas difabel. Pelayanan terhadap difabel juga digiatkan secara terus-menerus untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Meski belum sempurna, iktikad baik dan ide untuk menjadi kampus inklusif patut diapresiasi dan dicontoh.

Di Kota Tegal, potret aksesibilitas pendidikan bagi difabel masih menjadi persoalan serius. Perkembangan pendidikan inklusif tidak signifikan dan begitu memprihatinkan. Data tahun 2015 menunjukkan hanya ada lima sekolah inklusif. Kelimanya tersebar di empat Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Tak ada satu pun tempat untuk kaum difabel usia jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Padahal sesuai amanat Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, pemerintah kabupaten atau kota harus menunjuk minimal satu SD dan satu SMP pada setiap kecamatan, serta satu jenjang SMA pada setiap kabupaten atau kota untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Pertanyaannya kemudian: Kemanakah kaum difabel harus mengenyam pendidikan yang aksesibel dan antidiskriminasi? Ataukah kaum difabel dilarang bersekolah? Dua pertanyaan ini layak diajukan karena masih banyak sekolah-sekolah di pedesaan bahkan perkotaan di Indonesia yang belum aksesibel dan sarat akan diskriminasi bagi penyandang difabilitas.

Ketiadaan kaum difabel di bangku-bangku pendidikan kita bukan berarti mereka tidak ada. Sejatinya mereka ada, tapi tidak mungkin bersekolah karena tempatnya tidak aksesibel, sebagaimana kasus di Wisconsin. Pelayanan sekolah juga tidak mampu mengakomodasi kebutuhan dasarnya. Penting rasanya mempertimbangkan angka dan risiko difabilitas yang kemungkinan meningkat dari tahun ke tahun, sehingga kampanye gerakan pendidikan inklusif menemukan momentumnya. Dari sinilah urgensi mewujudkan pendidikan bagi kaum difabel yang aksesibel, berkeadilan dan antidiskriminasi melalui sekolah-sekolah inklusif baik negeri maupun swasta.

Mewujudkan pendidikan inklusif memang bukan perkara mudah karena butuh pemahaman, kesadaran kolektif, biaya tak murah dan waktu yang lama. Selain itu, kebijakan pemerintah dan komitmen sekolah juga dinilai sangat krusial dalam upaya pemberdayaan kaum difabel. Sebelum pendidikan inklusif diimplementasikan pada setiap sekolah, pola pikir di kalangan stakeholders pendidikan harus dibenahi terlebih dahulu.

Di kalangan masyarakat misalnya, kondisi kaum difabel harus diterima secara lapang, bukan mengeksklusinya. Masyarakat juga mesti rela mencari jalan keluar untuk mengembangkan bakat dan minat difabel. Begitupun pola pikir orang tua. Seharusnya orang tua bersedia memasukkan anaknya yang difabel kedalam sekolah reguler. Meski di beberapa sekolah masih ada kasus pemindahan siswa lantaran menyandang difabilitas, orang tua tak perlu khawatir mendapat penolakan dan diskriminasi seperti itu.

Semua stakeholders pendidikan harus menyadari, difabilitas sebagai sebuah isu hak asasi manusia bukanlah persoalan medis semata. Lebih jauh lagi, pendidikan inklusif adalah persoalan keadilan sosial dan kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, keberadaan pendidikan model segregasi seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) dinilai dapat mengembangkan potensi difabel. Namun di sisi lain, model pendidikan ini hanya menyiapkan siswa untuk berinteraksi dengan komunitasnya. Padahal mereka bagian masyarakat, dan kelak akan berkomunikasi dengan masyarakat luas, terutama dengan non-difabel. Selain itu, banyak contoh anak-anak difabel yang mampu berkarya layaknya non-difabel, sehingga difabilitas bukan penghalang dalam berkreativitas. Dari sinilah semua mesti memahami, anak difabel memiliki bakat istimewa dan perlu menyiapkannya untuk menjadi a part of society, not apart from society.

GURU UJUNG TOMBAK PENDIDIKAN INKLUSIF
Sarana dan prasarana menempati posisi penting dalam implementasi pendidikan inklusif. Keterbatasan dana yang dimiliki sekolah berdampak terhadap minimnya sarana dan prasarana yang aksesibel. Kondisi ini menuntut komitmen dan kreativitas sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan dasar siswa difabel. Tentu, hal itu juga wajib didukung pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan pendidikan inklusif. Tanpa sinergi keduanya, nyaris mustahil merealisasikan sekolah yang berkeadilan dan antidiskriminasi. Persoalannya kemudian, implementasi pendidikan inklusif yang berorientasi pada sarana dan prasarana pasti membutuhkan waktu sangat lama dan biaya mahal. Padahal pendidikan inklusif adalah hal mendesak karena menyangkut persoalan keadilan.

Sekolah yang hendak mengimplementasikan pendidikan inklusif perlu menjadikan guru sebagai ujung tombaknya. Prioritas orientasi sarana prasarana perlu diubah dengan pengembambangan sumber daya manusia (SDM) guru inklusif. Guru diberikan pengayaan berupa pemahaman dan kecakapan mengajar dalam setting kelas inklusif, sistem penilaiannya, dan modifikasi kurikulum. Guru inklusif menyadari, diversitas bukanlah penghambat kemampuan siswa non-difabel, tapi justru memperkaya kemampuan semua siswa. Tingkat kompetensi siswa tak harus tunggal, boleh beragam berdasarkan kemampuannya. Dasar pelaksanaannya bukanlah asimilasi tapi apresiasi diversitas, sehingga tak perlu menghilangkan identitasnya masing-masing. Orientasi ini jauh lebih realistis dan kemungkinan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat.

Selain mencetak SDM guru inklusif di tingkatan sekolah, pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi juga harus menyiapkan calon guru inklusif, apapun jurusannya. Kecapakan menangani siswa difabel bukan monopoli guru lulusan jurusan Pendidikan Luar Biasa semata. Keberadaan mata kuliah khusus dan pengalaman lapangan baru tentang pendidikan inklusif perlu diinisiasi. Dengan demikian, kompetensi guru di sekolah-sekolah kita ke depan akan meningkat dan mampu menangani persoalan difabilitas.

Sejatinya pendidikan inklusif sarat akan nilai-nilai politis dan ideologis karena berkaitan dengan komitmen terhadap keadilan. Sekolah bertanggung jawab terhadap kebutuhan siswa difabel, bukan siswa difabel yang mengadaptasi kebutuhan sekolah. Memberdayakan kaum difabel yang selama ini tereksklusi model pendidikan mainstream adalah tugas kolektif. Janji kemerdekaan mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus segera ditunaikan. Akhirnya, kita semua menyadari perlunya menyalakan api inklusif pendidikan kita.

*Penulis: Satori
*Opini ini pernah dimuat di Radar Tegal edisi 15 April 2017

Download versi pdf

logoblog

Thanks for reading MENYALAKAN API INKLUSIF PENDIDIKAN KITA

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar