Dari Kawasan Pengrajin Kukusan Kelurahan Margadana
Meretas Keterbatasan dengan Membuat Kukusan
KUKUSAN – Nurgiyati (kiri), sedang membuat kerajinan kukusan di teras rumahnya, Sabtu (14/6).
DALAM kehidupan, manusia tak lepas dari keterbatasan. Konsepsinya tentang keterbatasan, akan mempengaruhi cara seseorang dalam menajalani lika-liku hidup. Bila itu dipahami sebagai penghalang, maka kehadirannya akan membuat stagnasi hidup. Namun, jika sebaliknya, ia pun dapat menjadi pelecut spirit dalam menjalani kehidupan. Statement inilah yang begitu disadari oleh Nurgiyati (35), warga RT 1 RW 3 Kelurahan Margadana. Istri dari Tajwid (43) yang juga ibu dua anak, mencoba untuk meretas keterbatasan dengan membuat kukusan.
Perempuan lulusan SD itu, mengawali sebagai pengrajin kukusan sejak usia 10 tahun. Keahliannya diperoleh dari ibunya yang juga sebagai pengrajin kukusan. Selama 25 tahun, naik-turunnya harga pun pernah ia alami. Mulai dari Rp 1.000 hingga sekarang Rp 4.000. Dalam sehari, ia hanya mampu membuat 3 sampai 5 buah saja. Murahnya harga kukusan dan sedikitnya jumlah produksi per hari, tak pernah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Kalau sehari, itu seringnya cuma bisa bikin 3, kadang juga 5 ketika senggang dan nggak begitu capek. Sekarang 1 kukusan harganya sekitar Rp 4 ribu. Barang kayak gini, nggak mesti ada pembeli setiap hari. Seringnya 3 sampai 4 hari sekali baru ada pembeli. Dalam sebulan, maksimal dapat Rp 300 ribu. Kalau lagi sepi, cuma dapat Rp 200 ribu. Itu pun nggak bersih, kan berlum termasuk beli bambunya. Zaman sekarang, siapa yang bisa bertahan hidup dengan penghasilan Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan? Kalau cuma mengandalkan ini (membuat kukusan, red), keluarga saya nggak bisa hidup," tuturnya saat ditemui di kediamannya, Sabtu (14/6).
Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Nurgiyati juga mengandalkan penghasilan suaminya, yang sebagai buruh toko meubel kecil. Namun, itu pun tetap tak mencukupi. Pasalnya, penghasilan suaminya bergantung pada jumlah pesanan yang ada. Sehingga, itu tak menentu.
Sejatinya, Nurgiyati ingin lepas menjadi pengrajin kukusan. Bukan tanpa alasan, hal itu karena pertimbangan faktor ekonomi yang tak kunjung membaik dari tahun ke tahun. Bahkan, modal lebih untuk mengembangkan kerajinan kukusannya saja pun tak ada. Apalagi anak sulungnya, Muflihatun Arofah (15), telah divonis lumpuh. Karena itu, sebagai seorang ibu yang punya naluri penyayang, ia pun siap untuk meretas keterbatasan dengan tetap membuat kukusan sembari menemani anaknya.
"Secara ekonomi, menjadi pengrajin kukusan itu nggak ada peningkatan. Inginnya sih kerja lain, tapi nggak bisa. Saya kan lulusan SD, sudah begitu nggak punya modal. Terus, saya juga punya kewajiban untuk selalu menemani dia (Arafah, red)," keluhnya.
Menurut perempuan berkulit sawo matang tersebut, hal tersulit bagi pengrajin kukusan yakni bahan dasar (bambu) dan pemasaran. Selain harganya sedikit melangit, bambu juga sedikit sukar didapat. Lalu, saat ini, kukusan menjadi kerajinan yang jarang diminati orang. Pasalnya, untuk menanak nasi, orang-orang cenderung memilih alat yang lebih praktis seperti panci. Meskipun begitu, ada saja pembeli dalam per tiga harinya. Di samping itu, minimnya modal juga menjadi penghambat para pengrajin kukusan. Alasannya, mayoritas berangkat dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
"Dulu, sekitar 10 tahunan, pemkot pernah kasih kita (para pengrajin, red) alat-alat seperti gunting, golok, pisau dan gergaji. Terus, entah kapan, pihak kelurahan juga pernah ngasih mesin pemotong bambu untuk beberapa kelompok. Tapi, mesinnya nggak bagus. Kalau untuk motong, bambunya malah ancur. Jadi, semua kelompok nggak mau pakai mesin itu," paparnya.
Namun, demi anak sulungnya yang lumpuh dan si bungsu (Rofiatun, 10) yang masih kelas IV SD, ia akan tetap berjuang hidup. Walaupun memiliki keterbatas ekonomi dan waktu, ia akan meretasnya dengan tetap membuat kukusan. Sehingga, meskipun berpenghasilan rendah, ia bisa merawat si sulung dan menyekolahkan si bungsu hingga tamat.
"Pekerjaan yang penting halal, dan juga perhatian sama keluarga. Sambil berharap kesembuhan, saya ingin Arofah optimis menjalani hidup. Terus, Rofiatun juga bisa lulus sekolah. Mudah-mudahan pemkot ada yang mau ngasih modal untuk mengembangkan kerajinan ini, biar lancar," tutupnya. (sat)
Penulis Satori, tulisan ini pernah dimuat di Harian Pagi Radar Tegal pada Senin, 16 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar